Rabu, 24 April 2013

KEGIATAN SOSIAL



MAKALAH KEGIATAN SOSIAL
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRKa6Pn3mTllBRrcEVl6PolFQeo-FMLv3j844QTpWwqjcHiQGdEZg
DISUSUN : NUR FREDY W 1511028









































Model Keberlanjutanan Kegiatan Sosial

“Andaikata kemiskinan berwujud manusia, maka dialah musuh pertama yang akan kupenggal kepalanya!” (Ali bin Abi Tholib)
Keberlanjutan merupakan kata kunci keberhasilan pemberdayaan masyarakat yang dicita-citakan PNPM Mandiri Perkotaan. Sebagai salah satu ikhtiar pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan, tujuan akhir yang diharapkan pemerintah melalui PNPM Mandiri Perkotaan adalah terwujudnya penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan.
Guna mencapai cita-cita mulia tersebut, sudah sedemikian banyak pedoman, modul, materi serta bahan bacaan yang dicetak dan dibagikan kepada pendamping dan masyarakat.
Bahkan, yang baru-baru ini disosialisasikan dan berhasil menciptakan polemik serta kontroversi, adalah POB Kegiatan Sosial. Akan tetapi, apakah model keberlanjutan kegiatan sosial yang dibayangkan dan dirancang oleh konsultan sama dan sebangun dengan apa yang dirisaukan, dirasakan, dipahami dan bahkan yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat?
Agar tidak hanya berhenti pada tataran konsep, maka penulis menyajikan tiga model kegiatan sosial yang berkelanjutan di Kabupaten Klaten sebagai hasil kreativitas masyarakat sesuai permasalahan dan potensi di wilayah masing-masing.
1.     Lembaga Pengembangan Infaq (LPI). The Power of Giving
BKM Amanah, Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. 

LPI merupakan lembaga mandiri yang dibentuk untuk merealisasikan salah satu program mandiri dari BKM Amanah Desa Ngawonggo. Disebut sebagai program mandiri karena dirancang untuk tidak tergantung pada dana BLM, tetapi mendorong kepedulian masyarakat untuk membiayai kegiatan penanggulangan kemiskinan. Kegiatan yang dilakukan oleh LPI adalah menghimpun dan mengelola serta menyalurkan infaq dari warga untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Sejak didirikan dan mulai beraktivitas pada tahun 2007 hingga akhir tahun 2012, LPI sudah berhasil menghimpun dana dari masyarakat dan kelompok peduli sebesar Rp15.920.020 serta membiayai 3 dari 10 program yang direncanakan, yakni program santunan kesehatan sebesar Rp3,1 juta untuk 31 orang penerima manfaat, program peduli anak yatim sebesar Rp4.870.000 untuk 36 orang penerima manfaat, dan program sembako murah sebesar Rp6.088.000 untuk 298 KK.
2.     Program "1000 Garis" – Seribu Rupiah Setiap KK Setiap Bulan
LKM Karya Sejahtera, Desa Sajen, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten

Pada bulan Maret 2011, LKM Karya Sejahtera Desa Sajen mencanangkan Program "1000 Garis", yakni Gerakan Infak se-Desa Sajen dengan nilai nominal Rp1.000 per KK setiap bulan. Hingga akhir tahun 2012, dari program tersebut LKM sudah bisa membangun 33 unit jamban bagi keluarga miskin secara mandiri.
 

Mekanisme pengumpulan dana dari masyarakat setiap bulan melalui masing-masing RT kemudian disetorkan ke RW untuk dikelola oleh UPS di tingkat desa. Sedangkan pembangunan jamban diserahkan kepada panitia pelaksana di masing-masing RW dengan dukungan LKM.
 

Ada 247 dari 1.600-an KK di Desa Sajen yang belum mempunyai jamban. Penentuan prioritas penerima manfaat dilakukan di tingkat RW, sedangkan pelaksanaan bergilir satu unit setiap RW dengan penentuan urutan disepakati dilakukan melalui undian.
 

Guna mempercepat target penyelesaian pembangunan jamban sejumlah 247 unit tersebut, selain melalui program “1000 Garis” maka mulai tahun 2013 pembangunan jamban juga direncanakan untuk didanai dari BLM PNPM Mandiri Perkotaan. Dengan demikian program “1000 Garis” selanjutnya bisa membiayai kegiatan lain, sesuai dengan perencanaan, yakni peduli anak yatim, kegiatan keagamaan, santunan jompo/lansia, pelayanan kesehatan, peduli balita, pemberdayaan ekonomi dhuafa, kegiatan pemuda, perbaikan RTLH, pelestarian lingkungan hidup dan pertanian.

 
3.     Satu Bumbung Satu Rumah – Jimpitan Malem Minggu 
KSM Sarwo Manunggal, Desa Temuwangi, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten

Dukuh Ketekan, Desa Temuwangi, tempat penulis tinggal terdiri dari 2 RT, dengan kekuatan kelembagaan terdiri dari 3 kelompok. Yakni, kelompok arisan ibu-ibu yang tergabung dalam paguyuban Sami Manunggal (dengan pertemuan rutin setiap tanggal 1), kelompok warga Sarwo Manunggal yang mewakili kepala keluarga (dengan pertemuan rutin selapanan setiap malam Minggu Wage), dan kelompok pemuda Mudho Manunggal (yang biasa berkumpul setiap malam Minggu).
 

Awalnya masing-masing kelompok mengelola perlengkapan pendukung hajatan warga sendiri-sendiri, dimana kelompok pemuda mengelola meja, kursi,
 gedheg dan sound system, kelompok bapak-bapak mengelola piring, gelas, jimbeng, coblong dan seng, serta ibu-ibu mengelola peralatan masak (wajan, ompreng, ember, drink jar, dan lain-lain). Akan tetapi mulai tahun 2012 disepakati bahwa perlengkapan pendukung hajatan warga tersebut dikelola secara bersama-sama. Adapun hasil dari penyewaan perlengkapan tersebut digunakan untuk menambah dan melengkapi inventaris yang ada sehingga meningkatkan pelayanan kepada warga yang membutuhkan, serta untuk mendukung pembangunan prasarana umum (misalnya perkerasan jalan).

Dalam Renta Pronangkis 2013 Desa Temuwangi merencanakan program sosial produktif berupa persewaan perlengkapan pendukung pesta/hajatan, dan warga Dukuh Ketekan melalui KSM Sarwo Manunggal mengajukan kegiatan peremajaan kursi dengan BLM sebesar Rp2,5 juta. Melalui kegiatan tersebut menjadi pintu masuk bagi penulis selaku relawan untuk melakukan sosialisasi kepada warga tentang pentingnya kepedulian terhadap permasalahan kemiskinan. Dana sosial dari BLM PNPM Mandiri Perkotaan, yang dulunya biasa diberikan secara langsung kepada anak yatim, jompo, warga miskin dalam bentuk uang tunai atau sembako yang sekali habis, agar lebih lestari dan berkelanjutan dana sosial tersebut “dititipkan” kepada warga melalui KSM/lembaga yang ada untuk dikelola dan hasilnya dikembalikan kepada warga miskin yang perlu dibantu.
 

Karena hanya sebagai langkah awal untuk mendorong kepedulian warga, maka kalau hanya mengandalkan dari persewaan kursi dan perlengkapan lainnya hasilnya tidak akan layak untuk dibagikan kepada warga miskin. Langkah berikutnya yang penulis lakukan adalah mengajak kelompok pemuda untuk mengelola jimpitan mingguan, dengan memasang bumbung dari bambu di setiap rumah untuk menampung iuran sukarela dari warga, kemudian setiap malam minggu diambil dan dikelola oleh pemuda. Dari 60-an rumah, setiap minggu rata-rata bisa terkumpul Rp150.000. Setelah berjalan selama kurang lebih empat bulan, mulai September sampai Desember 2012, sudah terkumpul dana jimpitan sebesar Rp647.000.
 

Kemudian melalui pertemuan rutin yang ada, penulis mengajak kepada warga yang secara ekonomi lebih kuat untuk lebih peduli lagi dengan memberikan sumbangan rutin yang lebih besar setiap bulan, tidak hanya melalui jimpitan mingguan. Pemuda akan mendatangi secara rutin setiap bulan untuk menerima dan mengelola sumbangan tersebut. Sampai akhir tahun 2012, pemuda bisa menarik sumbangan sebesar Rp400.000.
 

Selain itu penulis juga mengajak tokoh-tokoh pemuda bersama-sama
 patungan dana untuk program gaduhan kambing. Dana yang terkumpul sejumlah Rp2,5 juta mulai dibelikan kambing dan dipelihara oleh warga dengan sistem bagi hasil. Yang menjadi program berikutnya adalah pemanfaatan dana sosial dari sumbangan warga tersebut tidak hanya diberikan dalam bentuk santunan, akan tetapi bisa digunakan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dan pemuda yang masih menganggur.
Kesimpulan
Dari aspek sumber dana, bisa ditarik kesimpulan dari ketiga kegiatan di atas ada tiga model yang dipakai. Yakni, (1) Mandiri, terlepas dari dana BLM, seperti yang terjadi di BKM Amanah Desa Ngawonggo dengan LPI-nya; (2) Menggalang kepedulian masyarakat, kemudian memanfaatkan dana BLM, seperti yang dilakukan oleh LKM Karya Sejahtera Desa Sajen dengan Program “1000 Garis”-nya; (3) Memanfaatkan dana BLM sebagai stimulan guna mendorong kepedulian masyarakat, seperti yang diterapkan oleh KSM Sarwo Manunggal Dukuh Ketekan Desa Temuwangi.
Sedangkan dari aspek kelembagaan, bisa dilihat ada tiga model yang digunakan. Yaitu, (1) BKM/LKM membentuk lembaga mandiri. Atau dalam bahasa PNPM Mandiri Perkotaan: membentuk unit pengelola baru, di luar Unit Pengelola (UP) yang sudah ada. Ini yang dilakukan oleh BKM Amanah Desa Ngawonggo dengan LPI-nya; (2) Mengoptimalkan Unit Pengelola Sosial (UPS), seperti yang dilakukan oleh LKM Karya Sejahtera, Desa Sajen, dengan menyerahkan pengelolaan Program “1000 Garis” kepada UPS; (3) Mendorong dan memperkuat peran KSM Sosial, seperti yang terjadi di BKM Karya Mandiri, Desa Temuwangi dengan KSM Sarwo Manunggal
Ketiga model di atas (bahkan bisa muncul model-model lainnya) disesuaikan dengan permasalahan dan potensi yang ada di masyarakat. Agar keberlanjutan dari kegiatan sosial bisa terjamin, upaya yang bisa dilakukan, di antaranya, adalah pertama, sosialisasi yang intensif dan berkelanjutan untuk menggugah kesadaran dan kepedulian masyarakat, terutama melalui media pertemuan rutin yang ada di kelompok masyarakat. Kedua, mendorong komitmen dan teladan dari pelaku dan tokoh masyarakat (termasuk konsultan/fasilitator sebagai agen pendorong perubahan). Ketiga, menyusun program yang kreatif dan inovatif sesuai budaya dan kearifan lokal. Keempat, mewujudkan lembaga pengelola yang transparan dan akuntabel sehingga menimbulkan trust dari masyarakat untuk berpartisipasi. Kelima, menjembatani sinergi antarlembaga di tingkat masyarakat untuk menguatkan perubahan sosial yang dicita-citakan.
Sebagai penutup, substansi mendasar dari pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengubah masyarakat dari miskin menjadi tidak miskin lagi. Melainkan mengubah dari masyarakat yang tidak peduli menjadi masyarakat yang peduli. Termasuk dari sisi kelembagaannya.
“Tahukah kamu orang yang telah mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak-anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang-orang miskin.” (QS. Al-Maa’uun (107): 1 - 3). [Jateng]

1 komentar: